Ilustrasi Hari HAM Sedunia 10 Desember 2023 (Foto: Getty Images/iStockphoto/urbazon) |
Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman
Refleksi, Tulisan ini bagian dari perintah UU Otsus nomor 21 Tahun 2001 Pasal 46 menjamin Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk melakukan klarifikasi sejarah Papua...merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.
"Satu hal yang pasti adalah: Indonesia tidak berhasil memenangkan hati orang-orang Papua. Dalam hal itu kesadaran nasional orang-orang Papua meningkat dengan tajam" (Sumber: Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri: PJ Drooglever, 2010:787).
Mata dan telinga adalah jendela hati dan pikiran. Lihatlah dengan hati tentang perbuatan makar dan aneksasi Indonesia terhadap kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua Barat 1 Desember 1961 yang melahirkan berbagai bentuk masalah ketidakadilan, diskriminasi rasial, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran HAM berat, marginalisasi, genosida, ekosida, dominasi, perampokkan sumber daya alam dan perampokkan Tanah Penduduk Orang Asli Papua (POAP) atas nama kepentingan keamanan negara dan pembangunan nasional bias pendatang atau yang menguntungkan migran sudah berlangsung lama sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang.
Kalau hati yang berbicara, maka semua orang akan mengakui dan mengatakan, bahwa penguasa pemerintah kolonial modern Indonesia melakukan tindakan makar atau aneksasi terhadap kemerdekaan dan kedaulatan rakyat dan bangsa Papua Barat 1 Desember 1961.
Masalah kronisnya ialah perbuatan makar dan aneksasi itu diikuti dengan pembakaran, pemusnahan dan penghilangkan buku-buku dan dokumen sejarah yang berhubungan dengan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua Barat.
Prof. JP Drooglever dalam penelitiannya menyatakan:
"...Pembentukan Dewan New Guinea dilakukan dengan persiapan yang cermat dengan tujuan agar badan politik ini memiliki tingkat keterwakilan sebaik mungkin. Penetapan bendera dan lagu berlangsung lebih cepat. Inisiatifnya sepenuhnya berasal dari pihak orang-orang Papua, tetapi kemudian diterima oleh penguasa Belanda. Dan secara mengejutkan, bendera dan lagu itu dengan cepat disahkan dalam suatu ordinary (undang-undang). Pengibaran bendera pertama kali dilakukan pada 1 Desember 1961 yang disambut dengan sukacita di mana-mana. Orang-orang Papua di bagian Barat Niew Guinea ini sekarang memiliki simbol identitas mereka sendiri yang diterima secara luas. Tidak saja Papua yang memiliki pemahaman seperti itu, tetapi juga Jakarta". (PJ Drooglever: 2010,780).
Drooglever menegaskan:
"...Walaupun begitu, mengintegrasikan orang-orang Papua ke dalam negara Indonesia tetap menjadi masalah. ... Kesempatan bagi orang Papua untuk maju sangat terbatas. ...Penduduk Papua adalah kelompok yang paling miskin di Indonesia. ..Integrasi mental dan organisasional ke dalam negara Indonesia tidak terjadi. ...Satu hal yang pasti adalah: Indonesia tidak berhasil memenangkan hati orang-orang Papua. Dalam hal itu kesadaran nasional orang-orang Papua meningkat dengan tajam" (PJ Drooglever, 2010: 786-787).
Berikut adalah isi makar atau aneksasi yang dikenal Trikora yang diumumkan Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta:
• Gagalkan pembentukan Negara boneka Papua buatan Belanda Kolonial
• Kibarkanlah Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
• Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Kata "gagalkan pembentukan Negara Papua buatan Belanda" mengindikasikan atau membuktikan bahwa Indonesia melakukan perbuatan makar dan aneksasi sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat, yaitu bangsa Papua Barat.
Ada bukti sejarah dukungan negara-negara merdeka yang menghadiri pada 1 Desember 1961 di Jayapura dari lima negara merdeka dan berdaulat, yaitu: Inggris, Francis, Australia, Belanda dan PNG dihadiri anggota parlemen.
Ideologi dan nasionalisme rakyat dan bangsa Papua Barat diperlihatkan dengan terawatnya dan terpeliharanya dengan baik tanggal 1 Desember 1961, bendera bintang kejora dan lagu kebangsaan, yaitu Hai Tanahku Papua.
Tim 100 Perwakilan Rakyat dan bangsa Papua pada 26 Februari 1999 di Istana Negara di hadapan Presiden RI, Prof. Dr. B.J. Habibie disampaikan:
"Bahwa permasalahan mendasar yang menimbulkan ketidak-stabilan politik dan keamanan di Papua Barat (Irian Jaya) sejak 1963 sampai sekarang ini, bukanlah semata-mata karena kegagalan pembangunan, melainkan STATUS POLITIK PAPUA BARAT yang pada 1 DESEMBER 1961 dinyatakan sebagai NEGARA MERDEKA di antara bangsa-bangsa lain di bumi. Pernyataan ini menjadi alternatif terbaik bagi sebuah harapan dan cita-cita masa depan bangsa Papua Barat, namun telah DIANEKSASI oleh Negara Republik Indonesia". (Sumber: Otonomi Khusus Papua: Yoman, 2012:30).
Musyawarah Besar (MUBES) 23-26 Februari 2000 dari 7 butir keputusan MUBES, pada butir 4 dinyatakan:
"Bahwa kami bangsa Papua Barat setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun berada dalam Negara Republik Indonesia, bangsa Papua Barat mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi: Pelanggaran berat HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah pada etnik dan kultur genocide bangsa Papua Barat,maka kami atas dasar hal-hal tersebut di atas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka-memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961."
Kongres Nasional II Rakyat dan Bangsa Papua Barat pada 26 Mei sampai 4 Juni 2000, menyatakan:
"Berdasarkan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB Desember 1948, Alinea I Mukadimah UUD RI tahun 1945, Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) 14 Desember 1960 mengenai jaminan pemberian kemerdekaan kepada rakyat dan wilayah-wilayah jajahan, Manifesto Politik Komite Nasional Papua tanggal 19 Oktober 1961, pengakuan presiden Soekarno atas Keberadaan Negara Papua Barat yang tercetus melalui Tri Komando Rakyat tanggal 19 Desember 1961, Surat Kongres Amerika Serikat tanggal 22 Mei 1998, Pernyataan Tim 100 Masyarakat Papua Barat pada 26 September 1999 kepada presiden RI dan kabinetnya, dan hasil-hasil Kongres II Papua Juni 2000 terutama keinginan kuat dari seluruh rakyat dan bangsa Papua untuk melepaskan diri dari NKRI, maka rakyat dan bangsa Papua melalui Kongres II Papua 2000 menegaskan kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di seluruh dunia, bahwa ada 6 butir keputusan penting, yaitu:
Butir (1) "Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961".
Butir (6) "PBB, AS, dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam proses aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya secara jujur, adil dan benar kepada rakyat Papua pada 1 Desember 2000.
Kongres III Rakyat dan bangsa Papua Barat 17-19 Oktober 2011 menyatakan: "Pemulihan 1 Desember 1961 sebagai Hari Kemerdekaan Nasional bangsa Papua Barat.
Hon. Benny Wenda Presiden Pemerintahan Sementara ULMWP telah menegaskan kembali, mempertahankan, merawat dan menghidupkan 1 Desember 1961 sebagai Hari Kemerdekaan rakyat dan bangsa Papua Barat dengan me-redeklarasi atau re-statement pada 1 Desember 2020 di Oxford,Inggris dan Pemerintahan Sementara ULMWP dan Green State Vision didukung dan diperkuat dengan Kongres I ULMWP pada 20-23 November 2023.
Doa dan harapan saya, tulisan kecil ini memberikan wawasan tersendiri atau memberikan perspektif baru tentang 1 Desember 1961.
Terima kasih. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, 12 Desember 2023
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
4. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC).
4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
+++++++
Kontak: 08124888458//08128888712