Kehidupan Sosialisme Suku Lani, Siapakah Orang Lani dan Pengertian Kata Lani (Part 1) |
"Orang-orang asing, Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia perlu pelajari dan tahu tentang siapa orang LANI? Orang LANI: Orang-orang Otonom, mandiri, independen dan berdaulat penuh, Tidak pernah diatur oleh bangsa asing."
Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socrates Yoman
Suku Lani yang menggunakan bahasa Lani adalah suku terbesar di Papua, yang hidup, tinggal/mendiami dan bermukim berabad-abad di Pegunungan West Papua di bagian Barat dari Lembah Balim. Wilayah yang didiami pemilik dan pengguna bahasa Lani meliputi: Piramit, Makki, Tiom, Kelila, Bokondini, Karubaga, Mamit, Kanggime, Ilu, Mulia, Nduga, Kuyawagi, Sinak dan Ilaga.
Kata "Lani" ada tiga pengertian, yaitu:
1. Kata "Lani" artinya pergi. Kata Lani yang artinya "pergi" ini digunakan oleh suku Hubula yang mendiami Lembah Balim. Pada saat menyuruh siapa saja untuk pergi biasanya diungkapkan "lani" artinya pergi.
2. Kata "Lani" juga disebutkan bagi laki-laki yang belum punya istri atau memang benar-benar tidak punya istri. Biasanya dipanggil "Ap Lani" yang selalu hidup menyendiri, berkebun sendiri, memasak sendiri dan menikmati sendiri. "Ap Lani" ini biasa hidup bersama dengan laki-laki dalam honai yang sama.
Dalam keberadaan laki-laki "Ap Lani" ini dia hidup normal seperti biasa dengan orang-orang Lani. Laki-laki model ini tidak banyak, dan jarang ada tapi orang-orang itu dipanggil "Ap Lani."
3. Kata “Lani” akan memiliki arti yang jelas, lebih dalam dan luas, jika ditambah dengan kata "Ap" berarti menjadi Ap Lani yang mengandung makna, yaitu: "Orang-orang Otonom, mandiri, independen dan berdaulat penuh."
Dalam buku: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri” (Yoman, 2010: 92) penulis menjelaskan sebagai berikut:
Kata Ap Lani artinya:” orang-orang independen, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki kehidupan, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai hutan, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas, mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur, dan mengurus apa saja, mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya.”
Dari penjelasan pengertian kata "Lani" ini menjadi terang, bahwa siapa sesungguhnya orang Lani bagian dari rakyat dan bangsa Papua Barat, bangsa Melanesia ini.
Berdasarkan ideologi sosialisme bangsa Papua Barat dari suku Lani, saya orang yang sangat terganggu selama ini.
Mengapa saya orang yang merasa sangat terganggu?
Karena, saya menyadari, saya datang dari bangsa yang berdaulat penuh, bangsa merdeka, otonom, mandiri dan tidak pernah diatur oleh bangsa-bangsa asing, termasuk bangsa asing Indonesia, yang kini menjadi bangsa kolonial modern atas bangsa kami.
Bangsa Indonesia memaksa kami untuk menerima ideologi mereka yang sangat asing bagi kami, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI harga mati, lagu Indonesia raya, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, 17 Agustus 1945.
Ya dan amin, buku yang ditulis ibu Dr. Bernanda Meteray berjudul: Nasionalisme Ganda di Papua.
Posisi saya jelas selama ini. Karena, saya berasal dan keturunan bangsa merdeka dan berdaulat, maka pemaksaan dan kepalsuan selalu saya tolak dan menolaknya.
Kesadaran, Kebangkitan, Persatuan, Harapan, Optimisme adalah KUNCI PERUBAHAN Penduduk Orang Asli Papua dari kelumpuhan dan Kepalsuan ideologi, sejarah dan budaya asing .
Ada bukti pendirian saya dilihat dari tulisan ini.
"SAYA TIDAK IKUT MENYANYI LAGU INDONESIA RAYA DAN TIDAK MENGHORMATI BENDERA MERAH PUTIH."
"...orang-orang Lani itu, meskipun masih hidup di zaman batu namun mempunyai peradaban dan kebudayaan tinggi.Orang Lani mempunyai rasa harga diri tinggi. Orang Lani bangga dan puas dengan keberadaannya. Orang Lani tidak mudah mengemis. " ( Pastor Frans Lieshout)
Pada 7 Desember 2017 ada pelantikan bupati dan wakil bupati terpilih Kabupaten Puncak Jaya, Dr. Junni Wonda, MSi dan wakilnya. Saya diundang untuk menghadiri acara pelantikan.
Acara pelantikan dimulai dan pemandu acara mempersilahkan seluruh undangan dipersilahkan berdiri. Kita semua berdiri. Saya duduk di deretan kursi kedua dari kursi para bupati. Di depan saya ada 1 kursi yang kosong, dan pada saat saya duduk tatapan saya langsung tertuju kepada pak Lukas Enembe gubernur Papua, Ketua DPRP Papua pak Yunus Wonda dan Ketua DPRD Kab. Puncak Jaya pak Wonda.
Pemandu Acara memandu kita untuk menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Mari kita menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Dirgent sudah mengayunkan tangannya mengajak kita menyanyi.
Saya tatap muka pak Gubernur, Ketua DPRP dan Ketua DPRD Kab Puncak Jaya dan tetap tutup mulut saya dan saya tidak menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Proses pelantikan bupati dan wakil bupati terpilih berjalan dengan lancar. Acara ditutup resmi dan kita istirahat makan siang.
Pak Lukas Enembe gubernur Papua dan Ketua DPRP dan Ketua DPRD tinggalkan meja sidang dan kita bersalam-salaman. Pada saat bersalaman pak gubernur berkata singkat:
"Pak Yoman, kenapa tidak menyanyi tadi. Hargailah."
Saya tidak berkomentar. Saya hanya senyum dalam hati saya sendiri. Karena yang tahu alasan saya sendiri. Mengapa saya tidak menyanyi Lagu Indonesia Raya?
2. Brigend TNI Abdul Haris Napoleon (alm) dan Kol TNI Victor Tobing
Dua orang pendatang ini punya kisah yang aneh dan lucu. Saya rasa aneh dan lucu karena pembicaraan mereka berdua tidak masuk di hati saya dan pikiran saya atau tidak rasional . Mereka berdua tidak sadar bahwa mereka tamu dan pendatang di Tanah Orang Melanesia, West Papua ini. Mereka orang asing di atas Tanah orang Lani kalau mereka berada di Mulia, Puncak Jaya.
Saya tulis kisah aneh, lucu, dan tidak masuk akal ini dalam konteks Tanah orang Lani di Mulia, Puncak Jaya.
Pada waktu kita makan, saya duduk keliling satu meja dengan pak gubernur Papua dan Brigjend Napoleon. Saya ada cerita sedikit keadaan yang tidak aman dan tidak bebas yang dialami dan dihadapi bagi rakyat Papua selama ini.
Brigjend TNI Abdul Haris Napoleon langsung memberikan respon.
"Oh...pak Socratez, Papua aman. Buktinya kami ijinkan pak Socratez datang ke Mulia hari ini. "
Pak Abdul Haris Napoleon, benar-benar manusia tidak tahu diri. Orang pendatang lagi, tamu dan orang asing lagi, tapi bikin diri penguasa atas hidup saya dan orang Lani. Dia tidak sadar, kami Orang Asli Papua ada di sini karena TUHAN tempatkan di sini sebelum orang lain atau penguasa kolonial datang.
Keangkuhan, kesombongan, kekeliruan besar dan juga kategori sangat fatal yang dilakukan orang-orang pendatang, tamu dan lebih tepat para penguasa kolonial dapat terlihat pada contoh lain sebagai berikut.
Pada 21 Oktober 2004, saya tiba di Puncak Jaya dalam tugas penggembalaan untuk memprotes pembunuhan Pendeta Elisa Tabuni yang ditembak mati oleh Kopassus dibawah pimpinan Dansatgas BAN-II/Kopassus, Letkol Inf.Yogi Gunawan pada 16 Agustus 2004 di Tingginambut.
Kita mengadakan pertemuan besar di Ruang Mulia INN dipimpin langsung oleh bupati Eliezer Renmaur (alm.) didampingi Wakil Ketua I DPRD pak Elias Tabuni dan puluhan anggota TNI-Polri dan para tokoh masyarakat.
Saya protes keras atas pembunuhan pendeta Elisa Tabuni dalam pertemuan itu. Saya benar-benar menyatakan penyesalan dan kemarahan saya kepada perilaku yang tidak beradab, kriminal dan brutal para pendatang sebagai kolonial ini.
Selesai pertemuan Kolonel TNI Victor Tobing, Kepala Intel Kodam XVII Cenderawasih mendekati saya dan berbisik kepada saya:
"Pak Socratez, saya akan atur perjalanan bapak ke Tingginambut untuk bertemu Goliat Tabuni."
(Kisah Lengkapnya dibaca dalam buku: Suara Gembala Menentang Kejahatan di Tanah Papua, 2012 hal. 101).
Saya heran dan ini luar biasa. Karena sangat lucu dan sangat aneh, orang-orang pendatang, tamu dan orang asing dan lebih tepat penguasa kolonial yang menduduki dan menjajah kami mau seenaknya dan semaunya mau mendikte, mau mengatur, mau memerintah hidup dan kebebasan dan kemerdekaan kami di atas Tanah Warisan dan Leluhur kami sendiri.
Bangsa kolonial Indonesia memaksa kami untuk menerima sejarah mereka, bahasa mereka, budaya mereka, bendera mereka, ideologi mereka, lagu mereka. Aturan dan undang-undang mereka. Ini aneh. Ini lucu. Ini pemaksaan sebagai kejahatan kemanusiaan. Ini cara-cara kriminal. Ini cara-cara barbar. Ini cara hidup yang tidak beradab dan tidak manusiawi.
Penguasa memaksa kami dengan cara meneror, mengintimidasi, dan membunuh kami untuk menerima cara dan gaya hidup bangsa kolonial Indonesia yang sebelumnya leluhur dan nenek moyang serta orang tua kami tidak tahu dan tidak kenal.
Mengapa saya tidak ikut menyanyi Lagu Indonesia Raya pada 7 Desember 2017 pada saat pelantikan bupati dan wakil bupati Puncak Jaya?
Maaf, itu bukan lagu saya. Saya tidak bisa dipaksa dan tidak boleh dipaksa untuk menyanyikan lagu penguasa penjajah yang menduduki dan membantai bangsa saya, rakyat saya dan suku saya selama 61 tahun ini.
Saya dilahirkan dan dibesarkan di antara keluarga dan bangsa saya bukan untuk menyembah simbol-simbol dan lambang-lambang bangsa asing dan kolonial yang selama ini membuat bangsa saya sangat menderita, ada cucuran darah dan tetesan air mata di atas tanah leluhur sendiri . Saya dihadirkan oleh Tuhan di tengah-tengah bangsa Melanesia, West Papua dan suku Lani untuk menghormati bangsa saya sendiri dalam keberadaan dan keunikan mereka.
Terima kasih. Selamat membaca.
Ita Wakhu Purom, Rabu, 24 Mei 2023
Penulis:
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
=========
HP/WA:08124888458;
WA: 08128888712
Catatan: Tulisan ini perlu diberikan saran, koreksi, masukan, perbaikan dan kritik.