JOURNAL-TAKO / Setelah membaca habis kedua buku ini ternyata benar bahwa tak ada kawan yang abadi dan juga tak ada musuh yang abadi, dalam politik semua bisa terjadi. Kawan bisa jadi lawan dan sebaliknya, semua bisa terjadi karena kepentingan dan keuntungan (13 Agustus 2023)
Buku dengan ketebalan 300 halaman serta 500 halaman itu mengisahkan tentang bagaimana musuh yang dilawan karena perbedaan, dilawan karena perjuangan kebenaran, dilawan karena demokrasi dan hak asasi manusia manusia.
Mereka yang dulu bertentangan, mereka yang dulu ditangkap, di culik, di sekap dan dipenjarakan, di siksa, kini telah berkawan dengan si penculik itu, telah bermesraan dengan si penyiksa itu, telah makan bersama, jalan bersama bertemu bersama.
Pada era menjelang Reformasi begitu banyak aktivis mahasiswa yang di tangkap, di culik, disiksa, di penjarakan oleh Danjen KOPASSUS Prabowo Subianto, kini justru malah mendukung bahkan masuk sebagai tim sukses pencapresan dan juga sebagai pengurus partai pimpinan PS.
Sebut saja Budiman Sudjatmiko mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokrat yang dulu ditangkap dan disiksa bahkan di penjarakan oleh PS, kini malah mendukung PS untuk maju sebagai calon Presiden 2024 mendatang.
Pius Lustrilanang pimpinan Aliansi Demokrasi Rakyat (ALDERA) yang mengusung perjuangan menurunkan Soeharto kemudian ditangkap, disiksa di penjarakan oleh PS justru kini menjadi pengurus Partai Gerindra dan menjadi Anggota DPR RI.
Rina Sarumpaet pendiri Partai Rakyat Demokrat yang juga adalah seniman dan sempat ditangkap oleh PS di penjarakan namun telah berbalik arah untuk mendukung PS tahun 2019 dan sekarang 2024 untuk capres.
Ari Rusli Moti yang mantan ketum PRD sebagaimana memperjuangkan demokrasi dan membela kaum tertindas namun kini bergabung untuk mendukung Prabowo sebagai capres 2024 mendatang, jika terpilih nantinya.
Ali Mochtar Ngabalin yang periode pertama mendukung PS sebagai capres dan meremehkan Jokowi kini balik menjilat ludahnya dan menjadi penjilat yang kini dekat dengan Jokowi siap mati membela Jokowi demi kepentingan dan perutnya.
Prabowo Subianto sendiri dua kali maju capres berhadapan dengan Jokowi di tahun 2014 dan 2019 kalah juga dan rela menjadi bawahan jokowi. Mereka yang dulunya berlawanan kini menjadi kawan, semua itu demi sebuah kepentingan dan keuntungan..
Tokoh Reformasi Amien Rais, Gus Dur, Megawati yang dulu bersama-sama bersatu menggulingkan Suharto, mereka ini begitu mesra dan akrab, ketika Gus Dur jadi Presiden, Amien Rais yang kala itu ketua MPR melakukan sidang Istimewa menurunkan Gus Dur dari Presiden.
Pada pencapresan Jokowi vs Prabowo, Megawati dan Amien Rais berbeda pilihan. Amien Rais tokoh Reformasi lebih mendukung Prabowo yang dulu sebagai penculik para aktivis Reformasi, semua itu karena kepentingan dan keuntungan.
Ternyata memang benar bahwa karena kepentingan maka ideologi dan idealisme bisa di jual, bisa di gadekan. Tak ada yang abadi dalam politik, hanya kepentingan dan keuntungan yang abadi dari segalanya, dan itu telah menjadi nyata.
Dalam politik jangan cepat percaya pada kata yang manis dan kata yang pahit, sebab bisa jadi yang pahit bisa jadi manis, dan yang manis bisa berubah menjadi pahit, semua itu bisa terjadi karena kepentingan dan keuntungan yang di dapat
Pemain politik atau politikus yang tidak berpegang pada prinsip dan ideologi, mereka sama seperti sekelompok pelacur yang pindah dari satu laki-laki ke laki-laki lain demi mencari kepuasan dan juga mendapatkan keuangan.
Para tokoh-tokoh di negeri ini baik dari pusat hingga ke daerah mengaku sebagai pemain politik, tapi mereka sebagai pelacur politik yang mengejar keuntungan dan uang sehingga tidak berpegang pada etika dan moral yang baik.
Politik sebenarnya meraih kekuasaan untuk melayani dan berpegang teguh pada kebenaran. Politik yang diharapkan adalah memiliki etika dan moral serta bisa membedakan mana yang benar untuk di perjuangkan hingga didapatkan.