Ilustrasi Muhammad Akbar |
Oleh Ismail Asso
Papua,Word-Tako / Saudara-Saudaraku kaum Kristiani sangat khawatir oleh akibat isu "islamisasi" yang meresahkan, dan itu mengkhawatirkan bagi mayoritas penduduk Papua sebelumnya sudah menerima Injil.
Kelompok muslim dengan “dukungan pusat”, membangun sekian ribu masjid, bahkan hal itu di pemukiman mayoritas kaum Kristiani.
Demikian itu terbaca misalnya dalam buku Dr. Benny Giay, (Gembalakanlah Umatku, 1997), dan terakhir dalam buku Sendius Wonda yang berjudul ; (Tenggelamnya Ras Melanesia, 2008).
Proyek penjajahan oleh pusat dengan kedok kebenaran agama, sebagai bentuk lain penjajahan budaya dan adat Papua begitu menghebat.
Demikian agaknya dirasakan hal tersebut menggejala di seluruh pelosok Papua, terutama di wilayah PTP, sebagai “daerah basis Pertahanan” Saudara-Sauraku Kaum Kristiani.
Sehingga hal ini harus dilakukan pembelaan oleh kaum intelektual Papua.
Untuk itu tidak kurang dari Dr. Sofyan Nyoman, Sendius Wonda dan Sem Karoba (seorang Mahasiswa Program Doktor Universitas Oxford Inggris), "turun gunung" ikut ambil bagian dalam kesempatan ini dengan menerjemahkan artikel hasil perkiraan konferensi yang dilakukan di Australia.
Sebagaimana kekhawatiran itu terlihat dari opini yang ditulis oleh seorang pengamat Autralia; Elizabeth Kendal berikut ini :
”Jika kecenderungan demokrasi berlanjut, Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya) akan menjadi mayoritas orang Indonesia (Kebanyakan orang Jawa) Muslim pada tahun 2011, dan orang asli Melanesia yang umumnya orang Papua Kristen Protestan akan turun menjadi 15 persen minoritas pada 2030.
Demikian prakiraan dalam sebuah konferensi di University of Sydney (NSW, Australia) oleh Ilmuwan Politik Dr. Jim Elsmlie dari Proyek papua Barat, berbasis di University of Sydney Centre for Peace and Conflict Studies (CPACS)”.
Kutipan ini penelitian di awal tahun Otonomi Khusus Papua diberlakukan. Dalam kutipan terbaca prediksi tahun 2013 Papua berbalik menjadi mayoritas Islam.
Tapi benar sedemikian mengkhawatirkannya fakta sesungguhnya di lapangan?
Saat ini tahun 2020, delapan tahun lebih kita melewati dari tahun prediksi ini ternyata tak terbukti.
Walaupun selalu dan dimana-mana prakiraan tanpa penelitian lapangan validitas akurasi kebenaran selalu tentatif.
Namun penting diperhatikan di sini, bahwa benar ada suatu kejadian yang itu sangat mengkhawatirkan bukan saja Saudara-Saudara kita, para pemuka masyarakat, terutama kaum Nasrani dan Pendeta tapi masyarakat Adat dan Budaya Papua lebih dirugikan oleh semua agama.
Kerugian masyarakat Adat dan Budaya Papua oleh nilai budaya baru yang mau mendominasi baik oleh agama dan modernisme sekuler mewabah di Papua dewasa ini.
Demikian juga nilai baru semua agama baik itu Kristen, Islam dan Yahudi telah berperan merusak tatanan Adat dan Budaya Papua.
Karena itu tidak hanya satu agama tapi semua agama merusak tatanan adat budaya Papua yang ingin mempertahankan Adat dan Budaya adalah kepentingan dan tujuan penulisan artikel di sini untuk mengklarifikasinya.
Disamping itu oleh akibat sekunder lainnya kita tidak selamanya dapat mempertahankan diri akan geniusitas diri.
Kita selalu merasa tidak pernah siap, kalau-kalau terlebur (konversi) kedalam kelainan yang lain.
Kita sering banyak berjumpa dengan yang lain dan baru, pada saat sama kita ingin membiarkan keunikan diri sebagai Yang Maha Unik, sebagai diri, orang Papua.
Karena itu kejahatan disini tidak hanya ditimpakan pada salah satu agama samawi, misalnya isu islamisasi, tapi juga kristenisasi sangat menghemat dengan melahirkan akibat-akibat negatifnya sendiri telah lama merajalela, dari sudut pandang survival existence masyarakat Adat dan Budaya Papua.
Bahkan proyek "kristenisasi" dalam era Otonomi Khusus sangat menggila dan merajalela sebagai akibat buruknya misalnya hubungan bebas tanpa memandang marga. Dalam bahasa lembah Baliem Wamena “PAWI” (inces) sistem perkawinan berdasarkan Wita-Waya.
Demikian sebagai akibat buruk dari pembakaran adat dan Budaya oleh Gereja, salah satu alat menghilangkan jati diri dan budaya orang Papua sangat meresahkan dirasakan oleh masyarakat Adat adalah dosa-dosa Agama Kristen dan para Misionaris Barat.
Masyarakat Adat Papua dipaksa meninggalkan Adat dan budaya mereka untuk menggantikan konsepsi agama.
Orang Papua dipaksa harus peduli dengan siapa Tuhan Yesus, Roma dan Israel-Palestina daripada memperhatikan Adat-Budaya diri mereka sendiri.
Mereka dipaksa mengganti kepercayaan Adat Budaya asli, Kaneke, dengan agama yang mereka bawa adalah dosa-dosa Kristen Barat di Papua.
Akhirnya semua tergantikan oleh agama Kristen bukan budaya Papua sendiri.
Bukti didepan mata saat ini (era otsus) adalah pembangunan Gereja disana-sini sangat mewabah bagaikan jamur dimusim hujan. Pemerintah melupakan Adat Budaya sendiri.
Agama peninggalan Misionaris Barat di Papua ini begitu merajalela, menyebabkan masyarakat Papua terutama daerah PTP, teralienasi dari akar budaya mereka sendiri.
Agama Kristen berdosa besar pada Adat-Budaya menyebabkan orang Papua saat ini kehilangan jati diri, teralienasi, dislocation, lupa diri, tidak tahu diri,dalam habitatnya.
Karena yang dipikirkan dibicarakan yang ditulis bukan mengenai dirinya tapi semua tentang budaya lain, sistem kepercayaan semit (agama) mendominasi-memenuhi seluruh isi pikiran orang Papua.
Moralitas orang Papua runtuh dan mereka kehilangan keseimbangan. Rakyat dalam tidakseimbangan antara diri dan bukan dirinya, goyah hilang orientasi hidup sebagai diri orang Papua menjadi diri yang lain.
Penyebabnya tidak lain Misionaris Kristen Barat menganjurkan masyarakat Papua membakar habis Adat-Budaya (Kaneke) menggantikan dengan konsepsi baru mereka Injil dan Agama Kristen.
Sebagai akibatnya orang Papua di PTP menganggap Agama dan Injil lebih baik dari pada Adat Budaya mereka sendiri. Orang PTP dan umumnya Papua membakar dan membumihanguskan Adat Budaya penggantinya dengan Injil, menyebabkan perilaku orang-orang PTP saat ini sudah rusak.
Kalangan muda banyak melakukan hubungan sex bebas tanpa membedakan marga (Wita-Waya), sesuatu yang sangat pantangan dalam Adat di PTP.
Bagi penulis yang tidak ikutan khawatir dengan tegaknya Adat dan demokrasi, sebagai tonggak baru perjuangan Papua Bangkit menganggap bahwa kedepan pasti tetap terjadi perubahan, apapun perubahan itu.
Pasalnya, dimanapun manusia selalu tidak steril terhadap transformasi nilai-nilai baru.
Peleburan nilai baru kedalam nilai lama (akulturasi-inkulturasi) selalu dan dimana-mana selamanya dalam kebudayaan umat manusia.
Demikian juga dengan Papua, transformasi nilai-nilai baru ke dalam nilai lama budaya Papua akan terus menghegemoni era dunia informasi modern ini.
Tapi catatan saya nilai yang akan menghegemoni dunia nanti yang terus berubah tidak sebagaimana yang diprediksikan dalam perkiraan konferensi di Australia itu.
Hegemoni nilai yang akan mendominasi di Papua Barat adalah sekularisme dan nilai Amerikanisme.
Walau apakah nilai baru tersebut positif atau negatif, akan mendominasi di Papua kedepan. Mengapa Americanisme?
Untuk saat ini negara manapun, (Presiden Prancis, pernah mengeluh di forum negara-negara Eropa), bahwa budaya Amerika begitu menghegemoni dunia manapun tanpa batas sebagai akibat kemudahan teknologi informasi dewasa ini.
Amerika sebagai satu-satunya polisi dunia mengimpor tidak saja produk teknologi industrinya tetapi juga ideologi liberalisme berbungkus HAM dan demokrasi kesemua negara dunia ketiga, sebagai syarat mendapatkan kucuran bantuan ekonomi dari IMF yang dikontrolnya.
Australia, Inggris dan negara sekutu Amerika lainnya ada dibelakang, mendukung semua kebijakan politik, ekonomi, sosial budaya adalah modal utama Amerika sebagai negara super power tak tertandingi oleh ideologi manapun saat ini masih berjalan.
Ada beberapa tokoh dari negara Amerika Latin, Cina dan Iran dibawah kepemimpinan Ahmadinejad mencoba melakukan perlawanan terhadap dominasi Amerika yang rakus dan arogan itu, namun Amerika tetap lebih masuk akal mendominasi peradaban dunia abad 21 ini.
Nilai lain dari Asia dan utamanya Indonesia juga ikut berperan mewarnai karakter terbentuknya budaya baru sebagai integrasi nasionalisme Papua kedepan.
Oleh sebab itu kita, orang Papua, dituntut wajib membangun sikap inclusive (paham terbuka) kepada semua nilai baru dengan usaha tetap mempertahankan nilai lama yang baik dengan menerima nilai baru yang lebih baik.
Tanpa kita mau terjebak pada sikap curiga satu terhadap lain atau menerima satu menafikan lain yang sesungguhnya semuanya asing dalam diri kita, budaya Papua pure.
Kita sebagai kaum intelektual (kaum yang berfikir rasional) wajib dituntut tetap bersikap realistis atas semua perubahan nilai itu.
Soal isu agama saya rasa bukan faktor utama masalah Papua, dan oleh Papua untuk Papua.
Semua agama sesungguhnya di tanah Papua datang setelah kita semua orang Papua sudah ada.
Semua agama di import ke Papua mau dibiarkan menggerogoti adat dan budaya atau mencegahnya, sehingga jangan masuk adalah suatu hal yang akhirnya; ah bisakah?
Sebab watak agama besar yang bersumber Abrahamic religion (Yahudi, Kristen dan Islam) adalah universal dan dapat diterima dimanapun dan pada suku bangsa manapun.
Kita tidak pernah merencanakan diri mau menjadi muslim atau Kristiani, begitu tiba-tiba kita lahir kita menganut Agama Kristen, Yahudi dan Islam karena faktor kebetulan.
Kebetulan orang tua kita, di kampung kita, lingkungan kita, daerah kita, dan sekitar kita menganut agama, agama apapun, kita menganutnya begitu saja tanpa pernah kita merencanakan sendiri sebelum kita mau berada di dunia ini. Atau orang menganutnya, tatakala agama itu datang dimana saja tempatnya.
Papua tidak mungkin steril dari agama besar dunia manapun. Kita hanya waspadai dampak negatif Agama adalah yang terpenting menurut saya.
Sebenarnya agama apapun kalau boleh jangan merusak tatanan adat dan budaya Papua.
Tapi kalau mau diterima semuanya, sebenarnya semuanya sudah masuk dan telah berperan merusak tatanan adat dan budaya Papua itu pada saat sekarang ini.
Tinggal bagaimana kita kembangkan sikap siap menghadapinya (perubahan itu), dan sikap itu hemat saya adalah sikap demokrasi dan penegakan HAM lebih penting daripada mempersoalkan sesuatu yang sesungguhnya bukan asli produk (Made In Papua) membuat kita akhirnya terpolarisasi.
Kita Rakyat Papua akhirnya hanya percuma membuang energi menetapkan ini dan membuang yang itu, adalah suatu usaha kesia-siaan saja.
Tujuan utama kita sekarang adalah bagaimana mengusir nilai buruk sebagai penjajahan kebebasan alam pikiran bukan urus mengesahkan atau menafikan agama.
Agenda terpenting Papua kita adalah bagaimana bebas dari: perbudakan, penjajahan, kebodohan, ketakutan, dari semua hegemoni budaya asing dan agama yang merusak tatanan adat dan budaya kita.
Perjuangkan ke depan tidak hanya perjuangan melawan penjajahan agama tapi semua bentuk hegemoni budaya luar asing yang merusak tatanan adat budaya, itu kalau kita mau konsisten terhadap diri sendiri dan perjuangan Papua bangkit.
Perjuangan Papua Bangkit juga menyangkut memahami kekurangan dalam diri sendiri dan mengembangkan potensi.
Hal-hal yang bersifat periferal harusnya bukan tema utama Perjuangan Papua Bangkit seperti misalnya soal agama, sebaiknya tidak di kedepankan dulu disini, tapi kita ambil manfaat kebaikan semua agama.
Ismail Asso
Ketua Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua